
085338712190
Maja labo dahu
is future
Berita Umum
Masyarakat Bima-Dompu (Mbojo)
Masyarakat Bima-Dompu, yaitu masyarakat yang mendiami pulau Sumbawa sebelah timur. Secara administratif, kedua wilayah tersebut terpisah, tapi dalam hal budaya, keduanya tidak mungkin bisa dipisahkan. Kedua wilayah tersebut menamai dirinya sebagai dou Mbojo (orang Mbojo)
Sebuah Budaya yang Lahir dari hukum islam
Bima adalah salah satu kota yang ada di bagian timur pulau Sumbawa provinsi Nusa Tenggara Barat, secara administratif terbagi menjadi tiga kepemerintahan, yaitu kota Bima, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Akan tetapi, secara kultur masyarakat tersebut berasal dari satu masyarakat yang sama, yaitu masyarakat suku Mbojo atau biasa disebut oleh masyarakat setempat sebagai Dou Mbojo (orang Mbojo).
Seiring berjalanya waktu, masyarakat tersebut tepecah menjadi dua golongan,, yaitu yang tersebar di bagian barat yang disebut dengan Dou Donggo Ipa (Orang Donggo bawah/Barat). Masyarakat tersebut masih bisa ditemukan adanya, yaitu di kecematan Donggo kabupaten Dompu.
Sedangkan yang kedua tersebar di bagian timu, yaitu yang mendiami kabupaten Bima. Bukti dari hal tersebut dapat dilihat dari jejak perdaban dan kebudayaan yang ada di desa Sambori. Masyarakat desa Sambori diyakinin sebagai masyarakat Mbojo asli yang pertama mendiami kabupaten Bima dan masih bertahan hingga sekarang.
Menurut Bo' Sagaji Kai, yaitu catatan kerajan Bima, Kota Bima pernah menjadi kerajaan yang jaya pada masanya karena menguasai jalur perdagangan dari Malaka ke Maluku dan sebaliknya. Kapal-kapal yang melalui jalur tritorial kerajaan Bima harus membayar pajak. Selan itu, pelabuhan Bima pada saat itu merupakan tempat persinggahan pesiar.
Dalam persinggahan beberapa sodagar, ABK, dan pedagang-pedagang ada yang tinggal lebih lama dan bahkan tingga selamanya di kota Bima dengan kata lain, mereka memulai kehidupan baru di tanah Bima. Bukti-bukti peningalan kerajaan tersebut dapat dilihat di museum Asi Mbojo dan beberapa ada di Museum Nasional.
Jauh sebelum terbentuknya kerajaan, masyarakat Mbojo memiliki kepercayaan animism dan dinamisme, yaitu terhadap roh nenek moyang yang mendiami bebatuan besar, tebing, tanah, pohon-pohon besar, dan lainnya. Kepercayaan tersebut disebut oleh masyarakat setempat Makakamba Makakimbi.
Setelah terbentuknya kerajaan, kepercayaan pada masyarakat suku Mbojo-pun berkembang. Masyarakat Mbojo bisa diprdiksi memiliki kepercayan Hindu-Buda pada masa-masa awal kerajaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari pengambilan nama kerajaan, yaitu Bima.
Nama bima dikenal dalam suku Jawa sebagai tokoh pewayangan dan merupakan keturunan dewa. Bukti lain yang dapat meperkuat dugaan bahwa masyarakat tersebut pernah menganut kepercayaan Hindu-Buda, yaitu dalam Bo' terdapat cerita salinan dari cerita para dewa dan dalam kehupan masyarakat Bima hingga kini masih mepercayai para Ncuhi, yaitu tokoh terdahulu yang pernah berkuasa dan berilmu tinggi hingga menjadikannya rohnya hidup di tengga-tengah masyarakat dan menjaga wilayah Bima.
Bahasa yang digunakan dalam masyarakat Bima adalah bahasa Mbojo. Akan tetapi, bahasa yang digunakan dalam naskah atau catatan sejarah kerajaan Bima didominasi oleh bahasa Melayu dan akasara yang digunakan adalah aksara aksara Melayu Klasik atau Arab gundul.
Hal tersebut bukan berarti suku Mbojo tidak memiliki aksara sendir. Pada awal masuknya islam yang dibawah oleh ulama-ulama dari Sumatra melalui hubungan diplomatik kerajaan Goa dan Luwu di Sulawesi dengan kerajaan Bima. Pada tgl 15 Muharam 1055 (13 Maret 1645) Sultan Abi'l Khair sirajudin memerintahkan agar BO', atau tradisi tulis menulis dilakukan dengan aksara Melayu atau Arab karena dianggap sebagai aksara yang diridoi oleh Allah SWT.
Aksara bima memang benar-benar ada, tapi bukti penggunaan aksara tersebut secara aktif tidak dapat ditemukan karena catatan kerajaan BO' bertulis aksara melayu dan diyakini bahwa dari berbagai jenis BO ada yang menggunakan aksara Mbojo. Akan tetapi, dari sekian banyak BO' telah banyak yang hilang akibat kebakaran besar yang melanda kerajaan Bima (Loir. 2012. xiv).
Wanita suku Mbojo sangat pandai dan rajin menenun, kepandaian ini tidak diketahui sejak kapan dimulai karena hampir seluruh wanita bisa menenun. Biasanya, wanita-wanita tersebut menenun pada musim kemerau untuk mengisi waktu luang dan di sela-sela waktu luang saat menunggu waktu panen.
Tenunan tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu Songket dan Nggoli. Hasil dari tenunan tersebut pada umumnya dijadikan sarung khas daerah Bima-Dompu. Kemudian masuknya pegaruh Islam yang begitu kuat dalam masyarakt tersebut menjadikan sarung tersebut sebagai pakaian muslimah sesuai aturan Islam.
Pakaian tersebut hingga sekarang masih digunakan secara aktif oleh beberapa kelompok orang sebagai pakaian keseharian, seperti masyarakat desa Sambori misalnya.
Rimpu adalah nama dari pakaian tersebut, Rimpu merupakan jenis hijap dalam masyarakat suku Mbojo (Bima-Dompu), dalam prakti pemakaiannya dibagi menjadi dua, yaitu Rumpu Cili (rimpu yang menyembunyikan) dan Rimpu Mpida (rimpu kecil).
Aturan dalam pengunaan rimpu sendiri disesuaikan dengan aturan dalam ajaran Islam, yaitu mengenai batas aurat. Dalam hal tersebut ada dua pendapat besar, yaitu aurat meliputi seluruh anggota tubuh selain telapak tangan dan wajah dan yang lain mengatakan bahwa yang bukan aurat adalah bagian mata dan telapak tangan.
Maka dari itu, masyarakat suku Mbojo membagi penggunaan rimpu berdasarkan dua pendapat tersebut. Rimpu yang menyerupai cadar atau niqop digunakan oleh anak gadis atau wanita yang belum menikah ketika keluar rumah sedangkan yang menyerupai jilbab syar'i digunakan oleh wanita yang sudah menikah untuk aktivitas sehari-hari di luar rumah.
Rimpu tidak diketahui oleh banyak orang. Maka dari itu, saya menulis artikel ini agar kekayaan Indonesia semakin terekspos. Untuk keberadaan pakaian tersebu masih terlestarikan dan berbagai upaya terus dilakukan untuk menjagan kelestariannya.
Sumber :
Loir, Henri Chamber dan Siri Masyam. Bo' Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Jakarta. Obor
tulisan ini dikopy dari kompasiana
Channel Ndai Meluncurkan Web Baru
Dikr channel ndai sebagai media yang berusaha mengangkat masalah lokalitas daerah Bima-Dompu sebagai salah satu upaya pertahanan bahasa, sastra, dan budaya Mbojo meluncurkan website baru, yaitu Cari Kata Bahasa Mbojo dan Ruang Bahasa Mbojo. Cari Kata Bahasa Mbojo sebagai web yang menyimpan kosa kata dalam bentuk post-post seperti sebuah blog yang terpisah untuk setiap katanya. Mesin cencarian kata salam web tersebut belum bisa aktif secara maksimal karena belum ditingkatkan ke versi premium dan kosa kata yang ada di dalamnya sudah mencapai 50%. Kosa kata yang ada di dalam website tersebut akan terus di-imput hingga memenuhi kebutuhan pemelajar bahasa dan agar bisa menyimpan data bahasa Mbojo yang ada. sedangkan Ruang Bahasa Mbojo adalah web yang akan membahas bahasa secara umum, yaitu sebagai ruang pemelajaran bahasa Mbojo. webtersebut dapat di lihat di menu "Belajar Bahasa Mbojo" kemudian akan muncul dua pilihan atau submenu atau melalui link berikut in.
Ruang Bahasa Mbojo : https://kingakhdan190.wixsite.com/ruangbahasambojo
Cari Kata Bahasa Mbojo : https://kingakhdan190.wixsite.com/carikatabahasambojo
Forum Komunikasi SMA 1 Woha Yogyakarta (FORKASY) mengadakan Acara Penyambutan Mahasiswa Baru 2018
Yogyakarta, Sabtu 06 Oktober 2018, forum Komunikasi Mahasiswa SMA 1 Woha Yogyakarta (FORKASY) menyelengarakan kegiatan penyambutan mahasiswa baru 2018. Acara tersebut bertema “Mewujudkan Mahasiswa Yang Cinta Terhadap Budaya Dalam Bulatan Rasa Keluargaan” yang diadakan di Café Roti Bakar 1872Kretek Kewer dimukai pada pukul 07:00 sampai selesai. Susunan acara tersbut hamper sama dengan acara pada umumnya, yaitu terdapat pembukaan, doa, sambutan dan lainya. Hal yang paling mengesankan dari acara tersebut adalah hadirnya alumni-almuni yang sedang menempu jenjang S2 dan S3 di luar Yogyakarta. Beberapa alumni yang dating ada yang kulih di Jawa Timur.
Sesuai dengan temanya acara tersebut menampilkan hal-lah yang berkaitan dengan lokalira, tapi tidak semua diisi dengan hal yang lokalitas karena selain loka litas nasionalisme juga penting dalam aspek kekeluargaan. Hal tersebut disampaikan oleh seniman yang telah lulus dari ISI bahwa “nasionalisme harus dijunjung tinggi tapi lokalitas tidak boleh dilupakan. Jadilah orang Bima dan belajarlah menyesuaikan diri dengan masyarakat dimanapun Engkau berada. Ingatlah ‘maja labo dahu” dalam pembicaraan disela peformce-nya. Ia dan kawan-kawanya membawakan lagu nasional dan lagu-lagu daerah masa kecil yang bisa dikatakan tidak banyak lagi yang mengeahuinya.
Salah satu lagu yang dibawakanya dalah “Ica Dua Da” lagu tersebu adalah lagu anak-anak mengenai angka satu sampai sepuluh. Lagu tersebut hamper mirip dengan pantun hanya saja tidak berupa dua lampiran dan dua sampiran. Selain itu, lagu yang paling asik yang dibawakannya adalah “Cou Ma Nangi Ele Mia Ba Nanga”, lagu tersebut merupakan lagu daerah Bima yang sangat banyak dinyanyikan dan penyebaranya sangat luas. Lagu tersebut memiliki tujuan untuk menghibur karena tidak ada pesan yang begitu jelas di dalamnya melainkan hanya nilai humoris. Jika ditelusuri, lagu tersebut merupakan lagu yang sudah sangat jarang dinyanyikan oleh anak-anak di daerah Bima. Selain akustik, pada awal pembukaan terdapat tilawah dari qoriah dan setelah akustik, ada pembacaan puisi Bima.
REAL ESTATE
Keep your clients up to date with what’s happening. To make this content your own, just add your images, text and links, or connect to data from your collection.
TECHNOLOGY
Keep your clients up to date with what’s happening. To make this content your own, just add your images, text and links, or connect to data from your collection.